Monday, October 30, 2023

Kunci Sejarah Anak Palestina (Resensi Buku)

 


Cerita dalam buku ini seolah mengingatkan masyarakat Indonesia: kita pernah begini. Kita pernah dijajah dan benci penjajahan. Kita pernah disiksa. Diperlakukan semena-mena. Kita ingin penjajah pergi dari tanah air. 

Sebagai generasi kedua yang lahir jauh setelah merdeka, anak-anak Indonesia kelahiran ’80-an hingga ’90-an yang kini telah menjadi orangtua mungkin memiliki kekhawatiran yang sama terhadap anak-anak mereka. Bahwa anak-anaknya tidak paham sejarah. Tak pernah memahami rasanya dijajah. 

Membaca Sitti’s Key membawa ingatan saya pada kisah masa penjajahan yang dialami orangtua kami. Pakde No, kakak pertama ibu, tiap berangkat sekolah selalu bawa senjata. Semua siswa bawa dan diletakkan di atas meja masing-masing. Jika terdengar pesawat Belanda terbang di atas sekolah, mereka akan langsung berlindung di bawah meja sambil memeluk senjatanya. Pakde No lahir di pertengahan 1930-an, sebelum Indonesia merdeka. Mengalami penjajahan oleh dua bangsa, Pakde No menguasai bahasa Jepang dan Belanda sekaligus. 

Sama seperti Pakde No, bapak lahir di masa yang sama. Kondisi saat itu amat memprihatinkan hingga beliau tak punya pilihan selain karung goni kasar sebagai pakaian saat dijajah Jepang. Saat itu usia beliau 7 tahun. Baju karung goni itu gatal luar biasa, tapi apa boleh buat. Kain sudah tidak ada. Mungkin gatalnya pun sudah tak terasa. Jaman itu, semua orang harus membungkuk jika ada orang Jepang lewat. Hingga usia senja, bapak bisa sedikit bahasa Jepang. Masih hafal aba-aba dan gerakan taiso (senam wajib pagi hari) yang diterapkan Jepang di sekolah-sekolah.

Sementara itu, ibu lahir di pertengahan ’40-an dan terpaksa meninggalkan rumah, menyeberangi hutan belukar dan sungai beraliran deras agar tidak kena serangan Belanda. Saya ingat Pakde So, kakak keempat ibu, yang saat itu masih kelas 1 SD, tidak kuat menahan derasnya arus sungai. Kakinya terpeleset saat menyeberang. Beras dalam bakul di kepalanya tumpah semua, masuk ke dalam arus. Tak ada yang tersisa. Karena lelah dan frustrasi, kakek memarahi Pakde So, sebab tak ada makanan lain yang mereka bawa. Namun, tak lama kakek sadar bahwa putranya kelelahan. Beliau merasa bersalah dan jatuh iba. Sesampainya di tengah hutan yang cukup jauh dan dirasa aman dari serangan Belanda, kakek, nenek, pakde, ibu, dan semua orang di rombongan itu menemukan pohon singkong. Kata Pakde So, singkong rebus di hutan itu adalah makanan terenak yang pernah beliau rasakan sepanjang hidupnya.

* * *

Sitti’s Key mengisahkan tentang Amal, gadis kecil keturunan Palestina yang lahir dan besar di Amerika Serikat. Ia tidak pernah mengenal asal-usul keturunannya di Palestina. Suatu hari, Sitti, neneknya, datang berkunjung. Sitti membawa sebatang kunci rumah yang sudah tua dan berkarat. Tiap kali melihat kunci itu, mata Sitti berkaca-kaca. Dalam hatinya, Amal bertanya-tanya, apa yang menyebabkan Sitti bersedih. Namun, ibu Amal melarangnya bertanya pada Sitti. Pada suatu malam, akhirnya Sitti menceritakan kisah di balik kunci yang penuh kenangan itu, yang menyimpan kisah pilu tentang penjajahan Israel di Palestina yang menimpa keluarganya.

Sitti’s Key adalah buku anak bertema Palestina dari penulis Amerika Serikat yang pertama yang saya lihat paling berani menyuarakan dengan tegas dan lantang: Palestina adalah tanah kami. Kata-kata seperti “We are the rightful owner”, “It is our land, it is our Haifa, it is our Palestine.”, “…let the world know that we Palestinians will return to our homeland.” dan kalimat lainnya yang senada bertaburan di bagian akhir buku ini. Pesan-pesan dari Sitti menanamkan kepada anak-anak bahwa sehebat apapun Zionis berusaha mengenyahkan mereka, Palestina adalah milik orang Palestina. 

Ini tidak biasa. Umumnya, buku anak bertema konflik Palestina-Israel karya penulis muslim Amerika tidak pernah seberani ini. Meskipun bertema perjuangan, kebanyakan memilih jalan pinggir yang halus dengan sudut pandang budaya. Ini pintu paling mudah dan paling banyak dipakai untuk memperkenalkan dan akhirnya menarik simpati terhadap Palestina. Misalnya makna dibalik baju adat, resep membuat kue tradisional, hingga tokoh superhero anak. 

Beberapa yang lebih serius biasanya memotret kenangan seperti indahnya memetik buah zaitun bersama keluarga di kampung halaman, atau perjuangan para pengungsi dalam menjaga harapan hidup dalam kehidupan sehari-hari di tenda pengungsian. Kata-katanya indah dan berima. Ilustrasinya indah luar biasa. Ukuran bukunya besar-besar, cocok untuk dibaca sebelum tidur. Tidak ada kepedihan maupun kengerian, seolah hidup berjalan normal tanpa ada apa-apa. Just another day on another side of the world. Kepedihan hanya muncul tersirat dari setting cerita di tenda pengungsian, atau harapan orangtua tokoh utama untuk pulang ke tanah air.

Ini wajar. Tak mudah untuk mengungkapkan suatu ide yang membuat kita tidak dicap antisemitik dan intoleran, terlebih di negara yang telah jelas mengungkapkan komitmen dan dukungan terhadap pihak yang menduduki Palestina. 

Tapi tidak dengan Sahar. Di buku perdananya ini, ia langsung menerjang. Tragedi Nakba 1948 saat ratusan ribu warga Palestina diusir paksa oleh Israel menjadi tema sentralnya. Sejak halaman pertama, perempuan berdarah Palestina lulusan Sastra Inggris Universitas Birzeit ini tak segan-segan mengutarakan ‘yang sebenarnya ingin mereka tulis selama ini’. Bahasanya lugas tanpa ada yang tersirat. Sahar bagaikan superhero betulan yang akhirnya datang. 

Melalui tokoh Amal dan Sitti, anak-anak Palestina seolah menemukan sosok lintas generasi yang saling terhubung lewat pahitnya warisan kenangan masa lalu. Dan Sitti’s Key mampu menyuarakan isi hati mereka dengan jujur dan lembut tanpa dibayangi kekhawatiran.

Alur cerita berjalan cepat. Kata-kata yang dipilih pun sederhana dan menyenangkan. Pendek dan mudah dibaca anak-anak TK dan SD. Ilustrasinya berkesan halus dan hangat dengan semburat warna oranye teduh yang nyaman. Kunjungan Sitti ke rumah Amal meninggalkan rasa bahagia, sekaligus semangat baru tentang asal-usul keluarga mereka.

Saat membacakan buku ini, orangtua tetap perlu memperhatikan kesiapan anak. Ada bagian menegangkan yang menggambarkan kepedihan perang dan mungkin memicu perasaan tertentu pada anak yang sensitif. Di bagian ini pula ada istilah baru yang mungkin perlu dijelaskan orangtua.

Melalui Sitti’s Key, buku anak-anak yang sederhana, Sahar telah jujur menyuarakan harapannya, dan harapan warga Palestina lainnya di dunia. Rasanya, ia telah berhasil membuat tanda di dunia buku anak bergenre sejarah Timur Tengah. Sitti’s Key istimewa sebab ia mampu secara gamblang, sekaligus lembut, menjelaskan peristiwa sejarah penting bagi anak-anak keturunan Palestina yang tinggal jauh dari tanah airnya untuk kembali mengingat asal-usul mereka, dan mengapa mereka ada di sana.

“Kunci itu adalah simbol atas hak warga Palestina untuk kembali ke tanah air mereka.” tegas Sahar. Tegak dan lantang, sejak awal lembaran bukunya terbuka.

* * *

Tentang Penulis

Sahar Khader Ali adalah penulis buku anak keturunan Palestina. Lahir dan besar di Amerika Serikat, ia tak pernah mengenal tanah air dan asal-usulnya hingga ia memutuskan pulang dan kuliah Sastra Inggris di Universitas Birzeit Palestina. Dari situlah kegemarannya akan buku bertumbuh, terutama buku anak. Sahar menjadi penulis untuk mengedukasi dan menumbuhkan kesadaran generasi muda tentang konflik Palestina-Israel. Baginya, Tragedi Nakba masih terus berlangsung selama para pengungsi Palestina tidak diberikan hak untuk kembali ke tanah airnya. 


Judul Buku: Sitti’s Key

Penulis: Sahar Khader Ali

Ilustrator: Noor Alshalabi

Jumlah halaman: 24

Target usia: 5-8 tahun

Penerbit: Little Hibba 

Terbit: 20 Mei 2023 (paperback), 4 Juli 2023 (Kindle)

ISBN: 9798395349675

ASIN: B0CB71V1MV

Harga: US $14.99 atau sekitar Rp240.000,- (paperback), US $2.99 atau sekitar Rp48.000,- (Kindle)

Popular Posts