Sunday, January 31, 2016

Obat Kanker Murah, Mungkinkah?

Ibu saya menderita kanker kelenjar getah bening. Untuk itu beliau perlu menjalani kemoterapi. Ternyata, harga obat kemoterapi amat mahal dan obat tersebut belum masuk dalam jaminan BPJS. Setiap kemoterapi, kami anak-anak beliau harus mengumpulkan uang sekitar Rp 20 juta untuk obat kemo dan penunjangnya. Padahal, ibu harus menjalani kemoterapi berkali-kali. 

Keadaan ini amat menyulitkan kami. Saya hanya dosen di sebuah universitas negeri dan adik saya memang pengusaha, tetapi usahanya sejak tahun lalu mengalami kelesuan. Kami, masyarakat, amat berharap pada jaminan BPJS. Kami sekeluarga telah menjadi peserta. Kami memahami BPJS belum sepenuhnya dapat membiayai pengobatan kanker. Namun, kami amat berharap harga obat kanker dapat terjangkau. 

Kami mengikuti perkembangan obat AIDS dan hepatitis yang sekarang dapat dibeli dengan harga yang jauh Iebih murah dibandingkan dengan harga di negara asalnya. Kenapa obat AIDS dan hepatitis dapat murah, sedangkan obat kanker masih mahal? Mungkinkah harga obat kankerjuga diturunkan, terutama untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah? 

Mengingat kanker sudah termasuk penyakit yang jumlahnya masuk peringkat sepuluh besar, sudah waktunya kita bersama memikirkan cara menurunkan harga obat kanker ini. Saya membaca bahwa obat kanker di India lebih murah, apakah kita tak dapat meniru India atau mengimpor obat kanker dari India?Apakah Kimia Farma juga mendapat tugas untuk mengadakan obat kanker murah di samping mengadakan obat AIDS dan hepatitis? Mohon penjelasan dokter. Terima kasih. 

S di J 



Jawab

Obat kanker di negeri kita tersedia dalam bentuk obat paten dan obat generik. Obat generik dapat dibagi dua kelompok, yaitu obat generik biasa dan obat generik berlogo. Obat yang harganya ditetapkan pemerintah dan diawasi ketat oleh pemerintah adalah obat generik. Obat generik dapat menjadi murah karena perhitungan harganya tak memperhitungkan biaya riset serta obat generik tidak mempunyai biaya pemasaran.

Acap kali harga obat generik hanya sekitar sepersepuluh harga obat paten. Sementara obat generik- biermerek masih mempunyai biaya pemasaran. Biaya pemasaran obat generik bermerek cukup tinggi, dapat mencapai 30 persen biaya produksi, sehingga harga obat generik bermerek mendekati obat paten. Selain itu, obat seperti komoditas lainnya akan terkena pajak. Dengan demikian, harga akan menjadi lebih tinggi lagi.

Khusus obat kanker, di negeri kita kebanyakan obat kanker masih dalam bentuk obat paten. Dengan demikian, harganya masih mahal. Bahkan, obat kanker yang terbaru barganya dapat mencapai lebih dari sepuluh juta sekali pemakaian. Harga ini tentu memberatkan untuk pemakai yang membiayai pengobatan sendiri maupun BPJS. Sampai saat ini pembiayaan untuk pengobatan kanker merupakan bagian yang cukup tinggi dari keseluruhan pengeluaran BPJ S. Pengeluaran lain yang cukup besar adalah tindakan cuci darah, serta pengobatan penyakit kronik seperti kencing manis, penyakit jantung, dan penyakit darah.

Obat paten

Pemahaman mengenai paten obat di negeri kita belum merata. Obat yang paten internasionalnya sudah habis masih bisa didaftarkan patennya di negeri kita. Sayang, komunikasi pemberi izin paten, Kementerian Kesehatan dan lembaga penelitian kita masih belum terjalin baik. Komunikasi yang baik telah berjalan di India. Pemberi izin paten di India akan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat serta penelitian obat baru di India sehingga tak mudah mengeluarkan paten obat yang berasal dari luar India.

Pemerintah India berusaha memajukan industri obat India. Tidak hanya untuk kepentingan di India, tetapi juga untuk tujuan ekspor. Apakah India melanggar kesepakatan perdagangan bebas dan hak paten? Tidak juga, tetapi India mampu memanfaatkan peluang yang ada karena kesadaran untuk memajukan industri dalam negerinya. Sesuai dengan kesepakatan Qrganisasi Perdagangan Dunia di Doha pada tahun 2001, pemerintah suatu negara dapat membatalkan paten obat di negaranya jika obat tersebut amat diperlukan masyarakat. Untuk itu pemerintah tersebut perlu memberikan kompensasi kepada perusahaan riset yang menemukan obat tersebut, biasanya mencapai 1 sampai 4 persen dari harga obat yang digunakan. Dengan demikian, masyarakat tertolong dan perusahaan yang menemukan obat juga masih mendapat kompensasi. Indonesia pernah beberapa kali melakukan compulsory licensing ini. Amerika Serikat termasuk negara yang paling sering melakukan compulsory licensing.

Untuk menurunkan harga obat kanker, kita dapat memproduksi sendiri atau sementara mengimpor dari negara yang telah memproduksinya dengan harga murah, misalnya India. Namun, tentu kita tidak hanya peduli pada harga yang murah, tetapi obat tersebut harus jelas manfaatnya serta aman dipakai. Obat harus dievaluasi terlebih dahulu oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan juga kemudian diawasi.

Untuk obat kanker memang masih banyak yang dalam perlindungan paten sehingga untuk memproduksi generiknya perlu melakukan compulsory licensing atau bekerja sama dengan perusahaan yang memproduksi obat paten sehingga obat tersebut dapat disediakan dengan harga lebih murah. Perusahaan obat paten Gilead, misalnya, yang memproduksi obat paten untuk hepatitis C, memberikan lisensi kepada perusahaan farmasi India untuk memproduksi obat yang sama, tetapi dipasarkan dengan harga amat murah untuk negara-negara yang masyarakatnya memiliki penghasilan masih rendah.

Gerakan untuk mengakses obat dengan harga murah memang sudah timbul di sejumlah negara yang tak berpenghasilan tinggi. Salah satu formula yang diperjuangkan teman-teman aktivis di sejumlah negara adalah harga obat disesuaikan dengan indeks pembangunan manusia. Jadi Obat A yang harganya di Eropa misalnya Rp 4 juta, di Indonesia seharusnya hanya Rp 400.000, bahkan di negara Afrika yang lebih miskin hanya Rp 100.000. Namun sayangnya baru berjalan untuk obat ARV (obat AIDS). Kita harus bersama-sama memperjuangkan agar obat di negara kita, termasuk obat kanker, menjadi murah dan terjangkau. Semoga terapi ibu Anda berhasil sehingga beliau dapat berkumpul dengan keluarga dalam keadaan sehat.

___________________
Sumber: Rubrik Kesehatan KOMPAS, Minggu, 10 Januari 2016
oleh dr. Samsuridjal Djauzi





Harga Mesin Radiasi

Sekian lama pertanyaan saya gak terjawab:

Kenapa Dharmais cuma punya DUA mesin radiasi? 
Kenapa pasien harus tunggu sampai 4 bulan untuk radiasi?

Segitu mahalnya kah mesin radiasi?

Well, saya tau, pasti memang iya. Tapi, berapa sih tepatnya?

Saya penasaran. Kalo cuma 1M, masa iya sih gak ada yang mau biayain.

Saya pun googling.

Dan inilah hasilnya.


Tiga juta dolar.

Wah. Masih kalah sama Dono. Doski jaman dulu aja udah enam juta dolar.

Anyway, 3 juta dolar kalo dirupiahin kira-kira segini.



Glek banyak banget nol-nya! Itu sih gak bisa kalo mau pake crowdfunding  *tutup-tutupin window kitabisa.com dan gandengtangan.com sambil ternganga*

Kalo nol-nya diurutin pake excel, itu bunyinya 41 miliar rupiah.

Wah. Semahal itu ya.

Gile lu Don, gak nyangka badan lu mahalnya bisa dua kali lipet  *terharu*

Wah kayaknya, lupakan aja deh impian crowdfunding. Itu cuma bisa pake uang negara :)

Isunya juga gak sampe di situ aja kan.

Beli mesin radiasi kayaknya beda, ya, sama beli mesin fotokopi. Gak bisa tinggal colok listrik dan langsung jalan hehe :)))

Instalasi alias pemasangan pasti juga butuh biaya. Dan kayaknya, butuhnya gak sedikit.

Estimasi biaya di bawah ini mungkin bisa sedikit memberi gambaran. (ini biaya membangun satu gedung dengan 5 mesin radiasi proton)



Nah, bisa dilihat, kan.

Pembangunannya aja segitu. Belum mesinnya.

Belom kalo ada bahan-bahan yang mesti dibeli untuk bahan baku radiasi-nya. Hmm, itu apa ya? Uranium? (maaf saya awam, nih!) Itu pasti mahal, deh.

Terus, karena itu radioaktif, pasti pengolahan limbahnya juga akan ribet. Mesti hati-hati pula. Dan segala sesuatu yang butuh extra care itu kan sama dengan extra money.

Jadi, mulai dari instalasi dan set up perdana, hingga keseluruhan maintenance harian, itu paaasti amat mahal.

Belum biaya yang harus ditanggung oleh BPJS. Ternyata, 60 detik itu harganya 5 jutaan, ya. Satu menit 5 juta. Dua jam enam miliar. Kalah resepsi nikahan!

Hmph.

Apakah negara gak mampu?

Ada yang tau gimana caranya supaya negara mau beliin kita mesin baru dan urus maintenance-nya?

Any answers will be much appreciated.

Artikel dan data dari Forbes

**Ibu saya memiliki multiple myeloma sejak tahun 2011, dan rutin kontrol di RS Kanker Dharmais, Jakarta Barat. Silakan klik menu "Multiple Myeloma" untuk melihat postingan terkait MM. Semoga kita bisa saling mengenal dan saling menguatkan :D

Tuesday, January 26, 2016

Lihat Antrian BPJS Dharmais di @antrianbpjs

Hai :D

Saya punya kabar gembira.

Kini antrian BPJS Dharmais sudah bisa diakses dari akun Twitter @antrianbpjs.

Semua orang bisa akses, bahkan yang gak punya Twitter.

Buka aja www.twitter.com/antrianbpjs  :D



Ini akun saya yang admin. Seneng deh. Setelah sekian lama, alhamdulillah bisa diwujudkan.

Keinginan bikin ini berawal dari pengalaman capeknya bolak-balik sana-sini cuma untuk ngecek antrian BPJS sudah sampai mana.

Selain itu, kalau sudah tahu sampai berapa, kita kan jadi bisa makan, shalat, dan fotokopi dengan tenang, hehe.

Untuk awalnya, info akan di-update tiap 30 menit.

Ke depannya, sih, saya berharap bisa update tiap 15 menit. Caranya dari kontribusi sesama pasien yang lagi antri. Jadinya kayak lewatmana atau elshinta gitu lah. Siapa pun yang lagi ngantri bisa foto layarnya, trus mensyen deh @antrianbpjs. Nanti akan saya RT.

Oya, yang mendukung lagi, alhamdulillah-nya sekarang antrian BPJS Dharmais sudah bisa via sms. Ini makin menyemangati saya untuk bikin, dan akhirnya insyaAllah  besok bisa up and running :D

Semoga akun twitter @antrianbpjs bisa bermanfaat, ya.

Mohon dukungannya ya rekan-rekan :D

UPDATE FEBRUARI 2016
Sayang sekali akun ini harus ditutup. Sepertinya saya harus cari partner kerja lain. Tapi, semoga bisa kasih bayangan seberapa cepet antrian BPJS Dharmais dipanggilin. Lumayan meski cuma 2 hari :) Better luck for me next time!

Popular Posts