Saturday, March 8, 2008

Korek Api



Di sini ada lilin. Di kamar sebelah juga ada. Sejak tadi sore lampu mati. Semua ruangan gelap, serasa di rumah hantu. Rumah-rumah gelap bagai di kota mati. Hanya ada bulan bulat yang bersinar putih di langit hitam.

Aku berjongkok sambil menyalakan lilin di kamar tidur. Api kecil membakar separuh batang korek api di tanganku. Ujung korek malang itu hangus dan bengkok ke bawah. Kutiup-tiup dan kupegang ujung yang hangat itu, agar api berjalan dan menghitamkan ujung satunya. Ibu sudah membeli sebungkus lilin tadi sore, jadi aku tinggal memasang satu di tiap ruangan.

Aku punya dua ritual saat menyalakan lilin. Yang pertama adalah memasang lilin di pojok kiri ruangan, di dekat pintu. Ada lima pintu di rumahku yang berderet dan segaris, dan jika aku berdiri di pintu paling ujung, semua lilin-lilin itu membentuk barisan cahaya yang indah.

Ritual kedua adalah yang kulakukan tadi. Menghanguskan batang-batang korek api. Sayang kalau mereka langsung ditiup setelah baru dinyalakan. Rasanya seperti memotong hidup seseorang yang baru dimulai. Memang batang korek bukan orang. Dia hanya benda mati. Tetapi, biarpun ia hanya sebatang korek, aku tak mau menyia-nyiakan hidupnya. Aku pasti berusaha keras menjaga api agar tak padam, hingga seluruh batang korek itu hangus dan bengkok.

Kupikir, korek tak seharusnya dibedakan dengan lilin, yang baru boleh mati setelah seluruh batangnya habis dimakan api. Banyak orang memiliki cita-cita hidup seperti sebuah lilin. Mereka ingin memberi cahaya bagi orang lain hingga sumbunya habis. Kudengar bahkan Ibu Teresa menganut motto mulia itu. Tetapi mengapa tak pernah ada seorang pun yang bercita-cita hidup seperti sebuah korek api? Apakah derajat korek kalah mulia dari lilin? Sepertinya tidak juga. Malah menurutku, koreklah yang lebih mulia. Ia memberi api kehidupan kepada lilin, padahal ia harus menanggung derita. Ia rela tubuhnya dihantam dan diseret berkali-kali sepanjang pinggiran kotak. Setelah itu kepalanya terbakar. Saat api menyala, ia memberikan kehidupan itu kepada lilin. Kehidupan yang susah payah ia dapatkan. Sudah itu ia ditiup, dan dibuang begitu saja. Sungguh malang nasibnya. Mirip seperti orang yang dimanfaatkan orang lain.

Menurutku, korek mirip figur ibu bagi sebuah lilin. Ia akan selalu melupakan hidupnya sendiri demi nyawa anaknya. Tak peduli dihantam berkali-kali, diseret sampai putus, atau mati di tengah jalan, ia akan selalu mencurahkan hidupnya kepada sang anak. Bagaimanapun caranya, anak itu harus tetap hidup. Jika korek bisa bicara, pasti ia berkata ‘Biarlah aku yang mati, asal anak kesayanganku selamat sentosa. Aku tak minta imbalan. Apalagi ketenaran.’

Orang-orang bisa saja menganggap jasa si korek tak setara dengan jasa si lilin. Namun, perjuangannya terbukti tak sia-sia. Ia berhasil membuat ‘anak’-nya menjadi sosok besar yang dikagumi semua orang. Bukankah amat mirip dengan cita-cita setiap ibu di muka bumi?

Maka dari itu, aku tak suka meniup sebatang korek api.

- -
06 Desember 2007, 16:33:05
photo by Peter Dazeley, from gettyimages.com

Friday, March 7, 2008

Gandhi is So Digging Teresa

Siapa idola kamu?

Di Sabtu siang yang membosankan, dosen tau2 nanyain pertanyaan itu. Mati gue. Mana pernah gue mikirin idola!

Punya idola itu ada baiknya. Akan ada inspirasi yang bisa dibangkitkan dari orang itu, lanjut si dosen.

Katanya, dulu orang2 seangkatannya pasti ngidolain Gandhi. Wuih… klasik bener. Gandhi yang kepalanya botak, berkacamata, dan sedang tersenyum. Tangannya tertangkup di depan dadanya yang terbalut pakaian (mirip) ihram. Ahimsa, swadesi, dan (satu lagi apa gue lupa.)

Ngomong-ngomong Gandhi, gue jadi kepikiran Bunda Teresa. Entah kenapa dua orang itu selalu gandengan aja gitu dalem otak gue.

Mungkin seharusnya mereka kawin aja.

Terus mereka punya anak buanyak, dan semuanya punya LSM masing-masing. Ada yang khusus buat orang miskin, ada yang buat yatim piatu, orang cacat… Ada yang buat membiayai kredit untuk negara2 miskin yang kelaparan, atau kredit rumah buat yang ngga punya rumah kayak model2nya si Yusuf-Yusuf yang menang Nobel Prize itu. (Yusuf-Yusuf aja, emang lo pikir tetangga lo…)

Berikut percakapan khayalan gue antara Mother Teresa (MT) dengan Gandhi (G) :

Mother Teresa : Ndhi, abis bantu2in orang, kita ngapain lagi?
Gandhi : Mmm…belum ada rencana sih.
Mother Teresa : Oh gitu... Mmmm… Oh ya, by the way, menurut kamu, kita bisa tukeran baju ngga?
Gandhi : Emang kenapa?
Mother Teresa : Mmm…abis lama2 aku bosen juga, stok bajuku cuman ini-ini aja. Putih garis pinggir biru. Kamu juga sekali2 perlu ganti gaya lho!
Gandhi : (memandangi bajunya sambil tersenyum) Ah, tapi ini seksi, lagi. Lebih user friendly! Akses mudah, sekali buka langsung jadi. (Kedip)
Mother Teresa : [sempet mikir sekilas: Dasar pervert! Is he flirting on me?!! Tapi ia segera mengalihkan pembicaraan.] Mending kita jalan-jalan sambil lihat-lihat baju, yuk! Kali2 aja ada yang cocok.

Dan pergilah mereka bersama ke Tanah Abang, dengan saling bergandeng tangan. Sesampainya di sana, mereka memasuki tiap kios dan mencoba-cobakan bahan pakaian ke tubuh mereka. Mereka nampak sangat bahagia.

MT : Aku suka yang bunga-bunga merah muda ini, Ndhi! (memeluk bahan itu ke pipi sambil tersenyum)
G : Kamu cantik pakai itu (tersenyum tulus)
MT : Kalo yang oranye ini?
G : Itu juga bagus (tersenyum)
MT : Aku beli dua, Mbak. (katanya kepada si penjual)
G : Eh, eh, nggak, nggak! Udah, biar aku yang bayar.
MT : Eeehh..ngga usah Ndhi, aku bisa bayar sendiriii..
G : Udah, udah, anggep aja ini hadiah dari aku.
MT : Bener, nih?
G : Iya aku serius.
MT : Makasih lho. [menerima baju dari kasir dengan tersipu-sipu]
G : Nanti malam kamu ke mana?
MT : Mmm… yah seperti biasa, aku di rumahku ngurus anak-anak.
G : [membawakan belanjaan] Kamu selalu punya waktu untuk orang lain. Terkadang kamu juga perlu waktu untuk diri kamu sendiri, lho.
MT : [tersenyum] Nggak papa. Aku senang kalo bisa bikin orang lain senang. [pause] Kamu tahu lilin?
G : Iya, tahu.
MT : Lilin itu menerangi sekelilingnya, meskipun ia tahu: saat waktunya tiba nanti, sumbunya akan habis, dan ia akan mati.
G : [mikir dalem hati] Wow! This girl is deep!
MT : Aku ingin jadi seperti lilin itu. Aku ingin menerangi sekelilingku sebelum sumbuku habis, Ndhi.
G : Kamu sudah melakukannya, sayang. [tersenyum]
MT : [balas tersenyum] Makasih, Ndhi.

Saat itu menjadi momen yang paling indah bagi Gandhi & Teresa. Untuk pertama kalinya, mereka membeli bahan baju beraneka warna. Ini pengalaman yang baru bagi keduanya. Mereka sangaaaaat bahagia.

Malamnya, Gandhi mengajak Teresa makan malam. Berdua, mereka duduk di tepi pantai, di meja yang diterangi dua buah lilin. Gandhi mengatakan, lilin-lilin itu menyimbolkan kebaikan hati Teresa. Walau hanya ada satu Teresa, tapi cahaya yang dipancarkannya ada dua kali lipat. Teresa amat bahagia.

Dua minggu kemudian, Gandhi & Teresa menikah. Mereka mempunyai puluhan anak-anak kembar, yang ketika dewasa, semuanya menyayangi orang tak mampu dan orang cacat. Gabungan prinsip kasih sayang Teresa dan prinsip kemandirian Gandhi telah menjadikan anak-anak itu tumbuh menjadi anak yang berkepedulian sosial sempurna.

Sepuluh anak kembar pertama memiliki rumah yang besar, yang akhirnya menjadi rumah kasih sayang dan pembangunan keterampilan untuk orang-orang berkebutuhan khusus.

Dua belas anak kembar kedua mengabdikan diri dan rumah mereka untuk membesarkan anak-anak tak berorangtua.

Sedang delapan anak kembar yang terakhir memberikan kredit rumah mungil, khusus untuk para pengemis yang tak punya rumah.

Gandhi, Teresa dan dua puluh anak kembarnya pun hidup bahagia selama-lamanya.



Tamat.

- -
02 Mei 2007, 13:10:01

Popular Posts