Monday, June 6, 2022

Homeschool di Persimpangan Jalan

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuhu,

Saya mau berbagi pengalaman dalam mempertimbangkan pilihan pendidikan untuk anak kami, N (9), yang lebih senang menggunakan bahasa inggris daripada bahasa indonesia. 

Alhamdulillah kami menjalani pendidikan non-formal berupa sekolah rumah (homeschool). Sejak kecil, N tidak pernah kami ikutkan ke sekolah formal. Awalnya iseng saja. Waktu ia balita, alhamdulillah Allah memudahkan saya mencetak worksheet (lembar kerja) warna-warni dari internet untuk anak seusianya. Alhamdulillah Allah membuat N juga senang mengerjakannya. Eh, keterusan sampai sekarang.



Alhamdulillah Allah membuat dia paham bahasa inggris, kami lebih mudah mencari bahan pengajaran untuk kegiatan belajar di rumah. Waktu itu sumber daya sekolah rumah berbahasa Indonesia belum sebanyak sekarang, seingat saya. Jadilah kami menggunakan bahasa inggris. 

Kurikulum yang kami gunakan campur-campur. Misalnya, untuk belajar membaca kami pakai Alphablocks dan Oxford Reading Tree (Britania Raya). Matematika pakai IXL dan Abeka (Amerika Serikat). Sains seperti Biologi dan Kimia pakai Real Science Odyssey (Amerika Serikat). Sempat pakai IXL Science juga (Amerika Serikat). Agama Islam pakai Minhajul Muslim dan Adabul Mufrad terbitan Darussalam (ini bukan kurikulum, sih, lebih seperti kitab gitu, terjemahan kitab asli berbahasa arab dan diterbitkan di Britania Raya). Yang penting bahasa inggris. Dan yang penting tujuan belajar tercapai.

Alphablocks

Oxford Reading Tree


Sejak dua tahun lalu, N menginjak usia SD. Saya terpikir untuk mencari PKBM. Di kalangan homeschoolers, topik yang selalu ramai adalah keabsahan ijasah. Dan saya yang tengah menjalani kurikulum US/UK gado-gado pun sempat galau. Ambil atau tidak? Rekan sesama pesekolah rumah yang menjalani kurikulum Charlotte Mason, yang selama ini pendapatnya selalu saya junjung tinggi, pernah bilang tidak perlu. Belum ia pikirkan. Toh, masih lama. Pikir saya, benar juga. Ngapain dipikirin sekarang.

Tapi, makin ke sini, makin banyak teman-teman pesekolah rumah di grup wa HS yang mengambil PKBM. Tujuan mereka jelas. Supaya anaknya dapat ijasah Paket A dan diakui negara. Dan teman saya yang Charlotte Mason itu juga sudah mendaftarkan anaknya di PKBM, masuk kelas 3. 

Memang peraturan pemerintah sekarang lebih 'menyesakkan'. 

Sekarang, jika ingin ambil ijasah Paket A, anak harus sudah punya rapor sejak kelas 4-6. Harus bisa dilihat nilai-nilainya. Baru boleh ujian Paket A. Gak boleh sekonyong-konyong datang ke PKBM minta ujian seperti dulu.

Bagaimana dengan Paket B? Baru bisa diambil 3 tahun setelah terbit ijasah Paket A. Jadi tidak bisa diambil di tahun yang sama, atau tahun berikutnya. Harus tiga tahun dulu.

Paket C? Juga 3 tahun setelah Paket B.

Jadi, meskipun anak sudah siap, tetap saja harus tunggu 3 tahun untuk ujian paket berikutnya.



Memang menyesakkan. Tapi saya bisa paham mengapa pemerintah memutuskan kebijakan seperti ini. Sekaligus berharap akan berubah di tahun-tahun mendatang.

Saya pun mencoba mendaftarkan N ke sebuah PKBM di Bandung. PKBM ini kami nilai cocok dengan nilai-nilai yang kami tanamkan di rumah. Kami senang PKBM ini.

Dari diskusi dengan PKBM, N akan masuk kelas 4. Kelas yang pas untuk mulai PKBM.

N pun ikut trial kelas zoom. Mapel matematika. Dalam hati saya khawatir. Matematika di Indonesia sangat sulit bahasanya. Kalimatnya panjang. Dan banyak istilah. Apakah N bisa paham?

Ilustrasi


Di akhir sesi zoom, mata N berkaca-kaca. Ia tidak paham satu pun yang diajarkan tutornya. Saya mencoba memberi pemahaman bahwa semua anak di sana paham karena punya bukunya, sedangkan kita tidak punya. Jadi, wajar kalau dia tidak paham. 

Tapi N tetap menangis. 

Saya mengirim pesan ke PKBM apakah bisa menggunakan buku lain sebagai sumber penilaian. Dan seperti yang saya perkirakan, mereka tidak bisa. Harus pakai buku dari penerbit yang mereka pilih. Wah. Pusing saya. 

Selama ini N hanya mau mengerjakan matematika pakai Abeka yang berbahasa inggris singkat dan lugas dan ilustrasinya dia suka. Meskipun itu aritmatika tradisional tanpa metode apapun. Plain arithmetic. Sebelum itu saya pernah memberinya buku Singapore Math dari penerbit Marshall Cavendish yang menurut saya sangat sangat enak dan jelas. Seperti Montessori tapi versi 2D. Saya suka Montessori. Tapi dia benci buku itu dan menangis sejadi-jadinya. Seharian. (Alhamdulillah saya jual lagi ada yang mau. Kan lumayan.)

Abeka. Klik gambar utk liat halaman dalamnya.

Singapore Math yang tak jadi dipakai.


Sementara itu, PKBM memakai buku My Fun Math. Saya lihat isinya sekilas. Metodenya sangat mirip Singapore Math yang saya sukai. Banyak visualisasi Montessori-ish yang memudahkan siswa membayangkan dan menghitung. Plusnya lagi, di dalamnya ditanamkan nilai-nilai islami. Misalnya, kita belajar pecahan sebab kita perlu menghitung 1/3 malam untuk tahajjud, nilai zakat dan waris. Semua disertai dalil yang kuat. Benar-benar impian saya.



Tapi N tidak terkesan. "Not interesting," katanya lirih. "Aku mau Abeka untuk matematika. Bukan yang lain."

Dalam hati, saya berharap andaikan My Fun Math diberi ilustrasi lebih realistik seperti Abeka. Nggak kartun-kartun amat seperti anak kecil. Mungkin N akan suka. Tapi, masa selera satu anak harus mengalahkan selera ratusan anak lain?

Batas akhir pendaftaran ke PKBM tinggal sebentar lagi. Tapi saya putuskan menunda. Saya kaji kembali semuanya.

Pertama, karena N hanya nyaman matematika dengan Abeka. Kedua, N memang belum pernah nyaman belajar dengan bahasa indonesia. Ketiga, tujuan akhir pendidikan kami memang bukan Paket C, tapi A Level yang dikeluarkan oleh Cambridge Assessment International Education (CAIE). 

Akhirnya, dengan segala pertimbangan, kami batal masuk PKBM. Sayang sekali, memang. Tapi saya tidak ingin memaksa. Akan sangat sulit sekali, bahkan tidak mungkin, kami menjalankan kegiatan belajar jika salah satu pihak tidak bisa bekerjasama.

Kami pun tetap belajar di rumah dan melanjutkan dengan kurikulum 'sana'. Tahun ini, saya insyaAllah mencoba kurikulum Cambridge. Supaya N terbiasa dengan karakter soalnya dan poin penting tipikal sana. 

Kami hanya akan menjalani 3 mapel: English, Math dan Science. 



Daftar buku saya dapat dari salah satu PKBM di Inggris yang bekerjasama dengan CAIE. Mereka sudah menyusun silabus dan daftar buku yang diperlukan untuk kelas 3-6, jadi saya ikuti saja. Alhamdulillah bukunya mudah didapat di marketplace.

English: Collins -> Primary Grammar and Punctuation, Primaru Vocabulary, Primary Comprehension

Science: Cambridge Science Learner -> saya ganti dengan Hodder's karena N lebih suka layoutnya

Math: tetap Abeka.

Alhamdulillah Allah membuat N mau memahami alasan kami harus ambil sertifikasi, dan menyukai buku pelajarannya. Terutama Collins. Ilustrasinya bagus sekali seperti buku-buku yang ia sukai. Adiknya yang 3 tahun juga suka.

Sebenarnya tahun lalu kami sudah belajar Science dengan RSO Biology dan RSO Chemistry (kurikulum Amerika). Dan sejujurnya RSO ini jauh lebih menyenangkan, baik dari segi kreativitas penyampaian materi dan aktivitas lab yang sangat playful dan fun, tapi meng-address prinsip-prinsip sains inti dengan sangat baik. Bahasan kurikulum Cambridge Year 4 ini pun semuanya sudah pernah kami pelajari di RSO. N sempat bertanya kenapa kami harus mengerjakan "Skeleton" dan "Muscles" lagi. Saya jawab, supaya pemberi sertifikatnya tahu kalo kamu tahu. Dia ga akan tahu kamu tahu kalo kita gak kasih tahu. Caranya ya dengan isi ini. Gampang, kok. Kamu kan juga udah tahu. Ini cuma buat ngisi-ngisi aja, jawab saya sesantai mungkin. Dalem hati, sih, yah, gimana ya, namanya buku teks pelajaran, isinya jauh dari fun. Dalem hati sebenarnya pingin banget ngerjain RSO lagi. Mungkin akhir tahun saya akan ajak N review dan diskusi modul mana yang dia suka. Kalau dia lebih suka RSO, ya, saya akan coba cocokkan dengan Cambrige via portfolio yang rapi.









Kenapa lebih pilih Cambridge daripada International Baccalaureate (IB) yang kurikulumnya sejalan dengan modul-modul Amerika yang kami jalani sekarang ini?

Dua-duanya sama bagusnya. Diterima di seluruh dunia. Tapi pilihan kami (saya, sih, sebenarnya) ke Cambridge sebab:

Pertama, mapel ujian masuk universitasnya lebih sedikit. Biasanya 3 mapel saja cukup. Kalau IB ada 6.

Kedua, mapel sedikit otomatis biaya lebih rendah. Biaya ujian kurikulum internasional adalah per mapel. A Level Cambridge saat ini 4 juta rupiah per mapel. 

Ketiga, mapel sedikit membuat belajar insyaAllah lebih fokus. Tak perlu buang waktu dan tenaga memikirkan mapel yang tidak disyaratkan untuk penerimaan fakultas yang dituju. Ini akan memperdalam expertise di bidang tersebut, insyaAllah. Kalau IB, 6 mapel itu termasuk mapel umum yang seringkali tidak disyaratkan di fakultas tujuan. Kan sayang.

Keempat, tujuan kami lebih ke Inggris atau Eropa. 

Itu, sih.



Lalu, nggak punya sertifikat Paket A, B dan C, dong?

Sayangnya, tidak.

Lalu nanti gimana?

Nanti sertifikatnya kami setarakan saja di Diknas. Misalnya N sudah lulus Cambridge Primary Checkpoint tingkat SD, maka kami setarakan. Lalu lulus IGCSE setingkat SMP, kami setarakan juga. Begitu sampai A Level setingkat SMA. Jadi dibalik saja. Ijasah sana yang disetarakan kemari.

Apakah N akan langsung kuliah S1 di luar negeri?

Itu kami belum bisa pastikan. Sekolah kedokteran di LN bisa makan 3M di tahun 2022. Jujur berat juga. Apalagi N masih punya adik. Masa 3M untuk N semua? Mengandalkan beasiswa? Mungkin. Tapi rasanya jarang untuk S1. Dan sejujurnya pun, saya masih ingin N kuliah S1 di kampus negeri dekat rumah. Saya kangenan. Sekaligus khawatir.

Saat ini saya tengah menanyakan ke universitas dalam negeri apakah mereka menerima sertifikat A Level. Yang bikin hati saya kecut, universitas dalam negeri bekerja sama dengan lembaga beasiswa LN untuk melanjutkan S2 dan PhD di LN dengan syarat good command of English. Kenapa nggak dari awal saja S1 di luar kalau sudah punya A Level? Kan lebih gampang. Lanjut S2-S3 sekalian.

Ah, bingung.

Ya Allah pilihkan terbaik untuk urusan dunia dan akhirat kami. Yang berkah. Yang Engkau ridhoi.


يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

Yaa Hayyu Yaa Qoyyum, bi-rohmatika as-taghiits, wa ash-lih lii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin abadan.

Artinya:

“Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dariMu).”


Popular Posts