Sunday, August 13, 2017

Dirawat di Dharmais Episode 2

Tembok warna hijau mint segar terbentang di depan saya. Di sela-selanya, ada pintu yang dicat kusennya warna oranye.

Pertama kali kami menghadap tembok ini menjelang Idul Adha tahun lalu. Saya ingat, kami malam takbiran Idul Adha di sini. Saya, Mas Happy, dan Mbak Lita. Makan bubur Ta Wan. Sekarang, tembok ini jadi pemandangan yang familiar. Ibu lebih sering kemari setahun belakangan.



Ibu dirawat di Dharmais sejak semalam. Dr Nugroho memberi pengantar rawat inap saat konsultasi dua hari sebelum ini. Kondisi Ibu sih baik semua, alhamdulillah. Hanya area pinggang belakang yang sakit hingga tak bisa bangun dari tempat tidur. Sama seperti bulan Mei-Juni lalu.

Tembok hijau mint itu adalah ruang IGD Dharmais, tempat saya menunggu ambulans kemarin sore. Kami memakai ambulans Dharmais untuk menjemput ibu di rumah Depok. Tidak ditanggung BPJS, jadi kami harus biaya sendiri. Besarnya Rp550.000,-. Ibu tak bisa pakai mobil biasa.

Setelah menjemput ibu, kami mampir ke RS Siaga Raya untuk Bone Survey. Dr Nugroho sudah memberi pengantar dan boleh dilakukan di mana saja. Bone Survey akan membantu dokter memutuskan treatment yang paling tepat.

Tadinya kami menawarkan Ibu untuk Bone Survey di RS wilayah Depok. Supaya dekat dari rumah dan praktis. Tapi Ibu menolak. Maunya di Dharmais, yang lebih spesialis dan petugasnya juga sudah biasa.

Kalau sudah di Dharmais, pasti lanjut rawat inap. Dan kalau rawat inap hari Jumat, pasti baru Senin bisa buat perjanjian radiologi. Baru Selasa paling cepat bisa Bone Survey. Terlalu lama weekend stay, kayaknya xD

Kami meminta ibu mempertimbangkan RS Siaga yang dikenal spesialis tulang. RS ini kami kenal baik. Almarhum Bapak pernah dirawat di sini. Lokasinya pun dekat dengan rumah kami di Pasar Minggu. Alhamdulillah, Ibu mau.

Pelayanan radiografi di RS Siaga Raya buka 24 jam. Semua petugas amat baik, membantu, dan ramah. Kami sangat leluasa berdiskusi dengan radiographer maupun dokter spesialis radiologi yang membaca dan menginterpretasi hasil foto Ibu. Ini sangat penting dan membuat kami merasa akrab dan nyaman.



Memastikan dokter dan petugas radiografer memahami kondisi Ibu yang punya multiple myeloma, dan bisa menyamakan pandangan dengan mereka, juga membuat kami lebih yakin. Kami bisa minta pengamatan agar lebih fokus pada teknik foto, interpretasi, atau apapun yang spesifik dengan kondisi ini. Kami ingin pastikan bisa se-sama mungkin dengan Dharmais, dan ternyata kami sangat puas. Melebihi ekspektasi, malah. Dan jujur, ya, membahagiakan! xD Seumur-umur belom pernah masuk ruang kerja radiologi dan diskusi bareng sama radiografer dan dokter radiologi! Mantap, lah.

Total semua ada 18 foto. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Agak beda Dharmais yang filmnya dicetak 6-in-1 dan jadi kecil-kecil, di RS Siaga Raya semua film dicetak masing-masing, jadi gambarnya besar. Sip.

Tapiiii... Naini bagian "Tapi" -nya. Karena Bone Survey tidak di Dharmais, ini tidak ditanggung BPJS. Kami harus biaya mandiri, yaitu Rp1.700.000,-. Gak apa-apa, insyaallah masih ada tabungan. Makin cepat Bone Survey, makin cepat treatment bisa dimulai, makin singkat masa rawat inap Ibu. Begitu pikir kami.

Interpretasi Bone Survey sangat cepat, dan segera setelah itu, kami langsung menuju Dharmais. Ibu langsung masuk kamar dan semua hasil lab, termasuk Bone Survey barusan, dikonsul ke dr Nugroho.

Ibu diberi MST, yang kami minta tukar dengan Durogesic dan alhamdulillah dikabulkan oleh dr Nugroho. Juga Omeprazole untuk mual. Bonefos langsung masuk di malam berikutnya. Alhamdulillah. Saya bersyukur sudah mengambil langkah yang tepat untuk Bone Survey sore itu. Semoga Allah sehatkan dan mudahkan recovery Ibu, aamiin.

Malamnya, saya pulang jam 22.00 dari Dharmais. Saya putuskan naik Go Car, bukan kereta. Hari yang panjang dan saya ingin tidur hingga depan rumah. Alhamdulillah dapat Blue Bird.

Di dalam taksi, ingatan-ingatan masa lalu melintas di benak saya. Tahun-tahun lalu, Ibu masih bisa naik taksi sedan bersama saya ke Dharmais. Ibu akan mengganjal punggungnya dengan tas. Gak mau dengan bantal. Ibu akan duduk di belakang, bagian tengah. Tempat joknya agak tinggi dan tidak ambles. Saya di depan.

Lalu perlahan sedan sudah tak bisa lagi. Alhamdulillah ada taksi online. Mobil tinggi seperti Avanza, Ertiga, Mobilio, dan sejenisnya amat membantu. Kini, semua sudah tak bisa. Hanya bisa tiduran di ambulans.

Ibu tetap sama seperti dulu. Tetap suka baca koran, dengar radio, makan lahap, jemur pagi, dan semuanya. Hanya saja lebih lambat dan perlahan.

Densitas tulang-tulang tampak sangat menurun. Tulang sangat menipis.
tulis dokter radiologist Bone Survey. Tampak banyak lesi litik tulang di kepala, lengan, paha, dan tungkai. Ya, masih jelas di ingatan, foto tulang Ibu yang diperlihatkan petugas di layar komputernya. Sudah abu-abu. Tidak putih lagi.

Rasanya berat sekali meninggalkan Ibu di Dharmais. Ibu saya cium berkali-kali. Gorden saya buka lagi, padahal sudah saling lambaikan tangan.

Semoga Allah memudahkan saya dan memberi semua yang saya perlukan untuk berbakti pada Ibu. Karena sungguh saya gak akan bisa tanpa pertolongan-Nya. Saya lemah. Semoga Allah memudahkan saya dan memberi semua yang saya perlukan.

Ya Allah kami mohon rahmat dan ampunanmu di dunia dan akhirat. Serta kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Aamiin yra.

Tuesday, August 8, 2017

Kemudahan Bersama Kesulitan

Hari kedua tanpa Aep. Hari kedua pula Ibu tak bisa bangun dari tempat tidur karena tulang pinggulnya sakit, kanan-kiri.

Untung saya masih ada jatah cuti kantor. Saya pegang anak, sementara mbaknya anak pegang Ibu. Kebalik-balik? Yah gapapa lah, mana-mana aja. Kadang begini, kadang begitu xD

Ini hari ketiga Ibu minum Melphalan. Apa ngaruh, ya? Biasanya sih tidak.

Menurut Ibu, mungkin karena kemarin beliau kebanyakan berdiri dan berjalan. Minggu kemarin memang saya keluar kota untuk gathering MM di Bandung, dan Ibu hanya bertiga saja dengan suami dan anak saya. Aep sekolah. Mbaknya ujian sertifikasi. Ga ada yang bantu. Mana anak saya demam, pula. Maunya dekat ayahnya. Suami tak bisa banyak membantu ibu, karena si kecil rewel. Tak terduga sekali. Padahal paginya cerah ceria. Mungkin karena si kecil melihat saya pergi menaiki eskalator stasiun dan tak ikut pulang bersamanya. Atau kecapekan. Atau dua-duanya.

Sepulang dari stasiun, siangnya si kecil demam. Ia meminta video call dengan saya. Saat itu, acara gathering baru saja selesai. Dari layar ponsel, saya melihat wajah dan matanya yang memerah dan berair. Pasti habis nangis.

Alhamdulillah malamnya saya berhasil pulang dan tidur bersama si kecil. Esok paginya (Senin) saya full menemaninya. Ia masih agak demam, tapi alhamdulillah tetap aktif dan siangnya sudah sembuh. Alhamdulillah Allah memberi kesembuhan.

UPDATE RABU 9 AGUSTUS

Alhamdulillah tadi malam kami sudah dapat pengganti Aep. Namanya Dewi. Dia akan bekerja setengah hari, dari jam 9 pagi sampai jam 2 siang. Lumayan untuk bantu beres-beres, cuci dan seterika. Juga membawakan makanan untuk Ibu ke kamar.

Alhamdulillah, besok saya insyaallah jadi bisa konsul ke Dharmais, menanyakan kondisi tulang pinggul Ibu yang sakit dan membuatnya tak bisa bangun.

Alhamdulillah terima kasih ya Allah. Memang Engkau sebaik-baik Pelindung dan Pemberi Pertolongan.


Tuesday, August 1, 2017

Bersyukur

Gak kerasa udah lewat sebulan setelah Ibu dirawat di Dharmais.

Saya amati, recovery Ibu kali ini lebih lambat daripada dulu. Butuh beberapa minggu hingga Ibu bisa bangun sendiri dari tempat tidur. Rasanya lama sekali.

Sekarang Ibu berjalan dengan bantuan walker. Bentuknya besar, mirip jemuran.

Saya sungguh bersyukur Ibu menerima keterbatasan yang beliau miliki. Ibu tidak pernah mengeluh, tak pernah merasa kurang, tak pernah menyesali kondisinya, menuntut ingin sembuh, ingin ini, ingin itu, nggak pernah sama sekali.

Pernah saya menawarkan, Ibu mau melukis? Ah, aneh-aneh aja, jawab ibu. Jalan-jalan? Nggak. Inap-inap? Nggak juga.

Sehari-hari, kegiatan Ibu gak banyak variasi. Cenderung monoton, malah. Ibu memulai hari dengan jemur di teras. Lalu sarapan dan mandi. Selebihnya tiduran di kamar sambil baca koran, baca buku dan mendengarkan radio.

Memang enak sih radio itu. Nggak seperti TV yang bikin capek duduk dan melihat. Dengan radio, kita tinggal pasang kuping saja.

Radio ibu dulunya dipakai almarhum Bapak. Merk Sony ukuran kecil dan mudah dibawa-bawa. Warnanya hitam, bobotnya ringan dan mantap dipegang. Putaran frekuensinya empuk dan presisi. Putaran volumenya mungil dan pas di jari. Dan suaranya, jernih tak terkira.

Ada 15 saluran yang bisa disimpan. Tapi ibu nggak pernah pakai. Channel-nya ituuu saja. Kalau mau ganti saluran, Ibu akan cari secara manual.

Sony ICF-M260

Dari Ibu saya belajar bahwa kebahagiaan tidak tergantung kita bisa pergi ke mana, jalan-jalan ke mana, makan apa, punya apa, dan apa apa lainnya.

Bahagia dan bersyukurlah dengan apa yang kita miliki saat ini.

Kalau bisanya hanya segini, ya sudah, tidak apa-apa. Gak mengurangi kebahagiaan, kok. Gak perlu nuntut harus ini, harus itu, pingin ini, pingin itu. Bersyukurlah.

Sumber kebahagiaan itu banyak. Ga dapet yang satu, ya gak apa-apa. Pasti ada yang lain. Yang lebih simpel, dan lebih gampang dicapai.

Semoga Allah memberi Ibu banyak kebaikan, kenyamanan, dan berkah. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau dan Bapak. Semoga nanti kita semua bisa mendapatkan husnul khatimah, dan kebaikan dunia akhirat. Aamiin.



Popular Posts