Bangsa apa yang tubuhnya paling tinggi?
Apa? Jerapah? Haha, nice try. Tapi maksud saya adalah "orang". Manusia :D
Jawabannya adalaaah... Bangsa Belanda.
Yap. Orang-orang Belanda memang punya tinggi badan lebih di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Rata-rata tinggi mereka sekitar 184 cm.
Tapi, tahukah kamu bahwa dulu mereka tingginya juga sama kayak kita-kita pribumi ini? Sekitar 163-an! Standar banget, kan?
Trus, kenapa mereka sekarang jadi tinggi-tinggi gitu? Well, tidak lain tidak bukan, karena kualitas makanan dan gizi yang meningkat.
Begitu kata Dr. Martine Alles, Direktur Developmental Physiology and Nutrition dari Danone Nutricia Early Life Nutrition yang juga berasal dari Belanda.
Fakta menarik ini diungkap beliau pada bincang-bincang gizi Nutritalk bertema "Sinergi Pengetahuan Lokal dan Keahlian Global bagi Perbaikan Gizi Anak Bangsa" bersama Nutrisi Untuk Bangsa di Jakarta, Jumat, 20 Maret 2015.
Selain Dr. Alles, talkshow ini juga mengundang Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, Guru Besar Tetap Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor sebagai narasumber utamanya.
Acara ini kayak ngegabungin ahli gizi Belanda sama ahli gizi Indonesia untuk sharing pengalaman di negara masing-masing. Dari situ, kita bisa ambil hal positif yang bisa diterapkan untuk gizi dan kesehatan anak di Indonesia.
Dua-duanya pinter-pinter banget! Buanyak banget ilmu yang saya dapet dari talkshow ini.
Oke, satu-satu ya saya ceritain :D
Lanjutin yang dari Dr. Alles dulu ya tentang Belanda-Belanda-an.
Selain kualitas gizi yang baik, tinggi badan anak-anak di Belanda naik karena tingkat kebersihan (higienitas) yang membaik dan makin kecilnya keluarga.
Belanda juga mencatat peningkatan berat badan pada bayi-bayi baru lahir sebanyak 300 gram. Buat bayi, ini berarti banget, lho. Ini bisa sepersepuluh berat badan mereka. (Ibaratnya 5 kg buat kamu yang beratnya 50 kg. Gede, kan? Kamu bisa naek jadi 55 kg.) Kenaikan ini berpengaruh besar pada perkembangannya nanti saat remaja dan dewasa.
Gak cuma tinggi badan, masalah gizi juga merembet ke hal-hal serem lain. Eropa dan Amerika Serikat pernah dilanda riketsia di tahun 1800-an. Ini adalah kelainan berupa pelunakan dan pelemahan tulang pada anak. Penyebabnya: jam kerja yang panjang dan polusi udara yang membuat mereka kekurangan sinar matahari.
Makanya dulu mereka dikasih minyak hati ikan kod (kayak Sc*tt's emulsion) dan disuruh masuk kamp liburan biar pada kejemur sinar matahari. Mentega juga difortifikasi (ditambahin) zat vitamin D.
Yang serem, saat ini riketsia lagi nanjak lagi di Eropa, sebab anak-anak cenderung di dalam rumah terus. Jarang main keluar, jadinya jarang kena sinar matahari.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sedih.
Kalo di Belanda orang pada tinggi-tinggi, Prof. Hardin mengatakan bahwa jumlah balita stunting (gagal tumbuh alias kuntet) akibat kekurangan gizi di Indonesia mencapai 37,2% atau 8,8 juta anak.
Sebanyak 42,8% anak-anak di desa dan 34,9% anak-anak di perkotaan yang berumur 2 sd 4 tahun juga mengalami kekurangan vitamin D.
Dan sayangnya, pertumbuhan ekonomi tak berjalan seiring dengan peningkatan kualitas gizi.
Untuk itu, Prof. Hardin menyarankan ibu yang tengah hamil, menyusui, maupun calon ibu hamil untuk memenuhi keseimbangan gizi demi bayi yang dilahirkan kelak. Begitu juga para ibu yang memiliki balita.
Pemenuhan gizi harus fokus pada zat gizi yang masih defisiensi, seperti protein, asam lemak esensial, zat besi, kalsium, yodium, zink, vitamin A, vitamin D, dan asam folat.
Takeaway Messages
Prof. Hardin:
1. Kita harus memutus lingkaran setan kekurangan gizi.
- Bayi kurang gizi lahir dari ibu-ibu kurang gizi.
- Bayi-bayi ini lahir dengan berat badan rendah, yang mempengaruhi perkembangan mentalnya.
- Mereka tumbuh menjadi remaja yang terbelakang mental, dan ketika dewasa menjadi orangtua terbelakang yang sulit memperhatikan gizi anak-anaknya.
- Mereka pun, akhirnya, melahirkan bayi-bayi yang kurang gizi.
2. Upaya perbaikan gizi bisa dilakukan melalui (1) perbaikan konsumsi pangan hewani dan buah-buahan; (2) suplemen gizi; (3) penanganan gizi buruk; (4) pendidikan gizi keluarga terutama ibu dan anak; serta (5) pemberdayaan ekonomi, keluarga, dan perempuan.
3. Untuk mengatasi kekurangan vitamin D dan menghindari riketsia, Prof. Hardin menyarankan anak-anak 'dijemur' selama 20 menit antara jam 9 pagi hingga jam 1 siang. Selain itu, anak harus didorong untuk bergerak aktif di luar ruang. Jangan cuma diem di rumah aja. Aktif!
Dr. Alles:
3. Periode 1.000 hari pertama kehidupan amat penting bagi pertumbuhan anak. Pada masa inilah semuanya berkembang pesat. Fisik, massa otak, kemampuan kognitif (berpikir), tulang, imunitas (kekebalan), sistem pencernaan, dan organ-organ metabolisme semua tumbuh dengan cepat.
Pada masa ini, bayi akan mencapai:
Makanya, kualitas pertumbuhan di periode ini punya pengaruh besar pada kualitas kesehatannya di masa depan.
4. Peningkatan gizi di Indonesia harus disesuaikan dengan pola makan, preferensi pangan, dan ketersediaan pangan lokal.
* * *
Talkshow hari ini bener-bener nyadarin lagi bahwa banyak banget anak-anak Indonesia yang mengalami malnutrisi. Sepulang dari acara, saya terinspirasi untuk browsing-browsing tentang isu-isu gizi di Indonesia. Dan benar kata Prof. Hardin. Miris banget.
Dari Global Nutrition Report 2014, Indonesia merupakan satu dari 17 negara di dunia yang masih punya isu stunting (gagal tumbuh alias kuntet), wasting (kurus), dan overweight (kelebihan berat badan) pada balita.
Cuma 17 negara yang punya 3 masalah itu. Rekan senasib kita adalah Albania, Azerbaijan, Benin, Bhutan, Botswana, Komoro, Djibouti, Mesir, Iraq, Libya, Mozambik, Papua Nugini, Sao Tome & Principe, Sierra Leone, Republik Arab Syria, dan Zambia. Padahal, ekonomi kita gak separah mereka, kan? Yah, tapi begini lah kenyataannya :'(
Dari total balita di Indonesia, stunting mencapai 37% (8,9 juta anak). Wasting mencapai 14% (3,3 jt), dan overweight 12% (2,8 jt). Khusus stunting, ternyata angkanya semakin naik. Sedih banget.
Kalo Belanda butuh hampir 200 tahun untuk mencapai pertumbuhan tinggi badan 20 cm, dan Eropa dan Amerika pernah kena riketsia, semoga kita di Indonesia bisa belajar dari pengalaman mereka dan memanfaatkan sumber-sumber kekayaan gizi pangan lokal. Biar gak sampe selama itu prosesnya.
Demi peningkatan gizi dan kualitas generasi bangsa. Secepatnya :)
Tip: Coba search hashtag #Nutritalk di twitter untuk info-info menarik lainnya di talkshow ini :D
Apa? Jerapah? Haha, nice try. Tapi maksud saya adalah "orang". Manusia :D
Jawabannya adalaaah... Bangsa Belanda.
Yap. Orang-orang Belanda memang punya tinggi badan lebih di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Rata-rata tinggi mereka sekitar 184 cm.
Tapi, tahukah kamu bahwa dulu mereka tingginya juga sama kayak kita-kita pribumi ini? Sekitar 163-an! Standar banget, kan?
Trus, kenapa mereka sekarang jadi tinggi-tinggi gitu? Well, tidak lain tidak bukan, karena kualitas makanan dan gizi yang meningkat.
Begitu kata Dr. Martine Alles, Direktur Developmental Physiology and Nutrition dari Danone Nutricia Early Life Nutrition yang juga berasal dari Belanda.
Fakta menarik ini diungkap beliau pada bincang-bincang gizi Nutritalk bertema "Sinergi Pengetahuan Lokal dan Keahlian Global bagi Perbaikan Gizi Anak Bangsa" bersama Nutrisi Untuk Bangsa di Jakarta, Jumat, 20 Maret 2015.
Selain Dr. Alles, talkshow ini juga mengundang Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, Guru Besar Tetap Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor sebagai narasumber utamanya.
Acara ini kayak ngegabungin ahli gizi Belanda sama ahli gizi Indonesia untuk sharing pengalaman di negara masing-masing. Dari situ, kita bisa ambil hal positif yang bisa diterapkan untuk gizi dan kesehatan anak di Indonesia.
Dua-duanya pinter-pinter banget! Buanyak banget ilmu yang saya dapet dari talkshow ini.
Oke, satu-satu ya saya ceritain :D
Lanjutin yang dari Dr. Alles dulu ya tentang Belanda-Belanda-an.
Selain kualitas gizi yang baik, tinggi badan anak-anak di Belanda naik karena tingkat kebersihan (higienitas) yang membaik dan makin kecilnya keluarga.
Belanda juga mencatat peningkatan berat badan pada bayi-bayi baru lahir sebanyak 300 gram. Buat bayi, ini berarti banget, lho. Ini bisa sepersepuluh berat badan mereka. (Ibaratnya 5 kg buat kamu yang beratnya 50 kg. Gede, kan? Kamu bisa naek jadi 55 kg.) Kenaikan ini berpengaruh besar pada perkembangannya nanti saat remaja dan dewasa.
Gak cuma tinggi badan, masalah gizi juga merembet ke hal-hal serem lain. Eropa dan Amerika Serikat pernah dilanda riketsia di tahun 1800-an. Ini adalah kelainan berupa pelunakan dan pelemahan tulang pada anak. Penyebabnya: jam kerja yang panjang dan polusi udara yang membuat mereka kekurangan sinar matahari.
Makanya dulu mereka dikasih minyak hati ikan kod (kayak Sc*tt's emulsion) dan disuruh masuk kamp liburan biar pada kejemur sinar matahari. Mentega juga difortifikasi (ditambahin) zat vitamin D.
Yang serem, saat ini riketsia lagi nanjak lagi di Eropa, sebab anak-anak cenderung di dalam rumah terus. Jarang main keluar, jadinya jarang kena sinar matahari.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sedih.
Kalo di Belanda orang pada tinggi-tinggi, Prof. Hardin mengatakan bahwa jumlah balita stunting (gagal tumbuh alias kuntet) akibat kekurangan gizi di Indonesia mencapai 37,2% atau 8,8 juta anak.
Sebanyak 42,8% anak-anak di desa dan 34,9% anak-anak di perkotaan yang berumur 2 sd 4 tahun juga mengalami kekurangan vitamin D.
Dan sayangnya, pertumbuhan ekonomi tak berjalan seiring dengan peningkatan kualitas gizi.
Untuk itu, Prof. Hardin menyarankan ibu yang tengah hamil, menyusui, maupun calon ibu hamil untuk memenuhi keseimbangan gizi demi bayi yang dilahirkan kelak. Begitu juga para ibu yang memiliki balita.
Pemenuhan gizi harus fokus pada zat gizi yang masih defisiensi, seperti protein, asam lemak esensial, zat besi, kalsium, yodium, zink, vitamin A, vitamin D, dan asam folat.
Takeaway Messages
Prof. Hardin:
1. Kita harus memutus lingkaran setan kekurangan gizi.
- Bayi kurang gizi lahir dari ibu-ibu kurang gizi.
- Bayi-bayi ini lahir dengan berat badan rendah, yang mempengaruhi perkembangan mentalnya.
- Mereka tumbuh menjadi remaja yang terbelakang mental, dan ketika dewasa menjadi orangtua terbelakang yang sulit memperhatikan gizi anak-anaknya.
- Mereka pun, akhirnya, melahirkan bayi-bayi yang kurang gizi.
2. Upaya perbaikan gizi bisa dilakukan melalui (1) perbaikan konsumsi pangan hewani dan buah-buahan; (2) suplemen gizi; (3) penanganan gizi buruk; (4) pendidikan gizi keluarga terutama ibu dan anak; serta (5) pemberdayaan ekonomi, keluarga, dan perempuan.
3. Untuk mengatasi kekurangan vitamin D dan menghindari riketsia, Prof. Hardin menyarankan anak-anak 'dijemur' selama 20 menit antara jam 9 pagi hingga jam 1 siang. Selain itu, anak harus didorong untuk bergerak aktif di luar ruang. Jangan cuma diem di rumah aja. Aktif!
Dr. Alles:
3. Periode 1.000 hari pertama kehidupan amat penting bagi pertumbuhan anak. Pada masa inilah semuanya berkembang pesat. Fisik, massa otak, kemampuan kognitif (berpikir), tulang, imunitas (kekebalan), sistem pencernaan, dan organ-organ metabolisme semua tumbuh dengan cepat.
Pada masa ini, bayi akan mencapai:
- 2x tinggi badannya
- 5x berat badannya, dan
- 1 kg massa otaknya
Makanya, kualitas pertumbuhan di periode ini punya pengaruh besar pada kualitas kesehatannya di masa depan.
4. Peningkatan gizi di Indonesia harus disesuaikan dengan pola makan, preferensi pangan, dan ketersediaan pangan lokal.
* * *
Talkshow hari ini bener-bener nyadarin lagi bahwa banyak banget anak-anak Indonesia yang mengalami malnutrisi. Sepulang dari acara, saya terinspirasi untuk browsing-browsing tentang isu-isu gizi di Indonesia. Dan benar kata Prof. Hardin. Miris banget.
Dari Global Nutrition Report 2014, Indonesia merupakan satu dari 17 negara di dunia yang masih punya isu stunting (gagal tumbuh alias kuntet), wasting (kurus), dan overweight (kelebihan berat badan) pada balita.
Cuma 17 negara yang punya 3 masalah itu. Rekan senasib kita adalah Albania, Azerbaijan, Benin, Bhutan, Botswana, Komoro, Djibouti, Mesir, Iraq, Libya, Mozambik, Papua Nugini, Sao Tome & Principe, Sierra Leone, Republik Arab Syria, dan Zambia. Padahal, ekonomi kita gak separah mereka, kan? Yah, tapi begini lah kenyataannya :'(
Dari total balita di Indonesia, stunting mencapai 37% (8,9 juta anak). Wasting mencapai 14% (3,3 jt), dan overweight 12% (2,8 jt). Khusus stunting, ternyata angkanya semakin naik. Sedih banget.
Kalo Belanda butuh hampir 200 tahun untuk mencapai pertumbuhan tinggi badan 20 cm, dan Eropa dan Amerika pernah kena riketsia, semoga kita di Indonesia bisa belajar dari pengalaman mereka dan memanfaatkan sumber-sumber kekayaan gizi pangan lokal. Biar gak sampe selama itu prosesnya.
Demi peningkatan gizi dan kualitas generasi bangsa. Secepatnya :)
Tip: Coba search hashtag #Nutritalk di twitter untuk info-info menarik lainnya di talkshow ini :D
No comments:
Post a Comment