Di sini ada lilin. Di kamar sebelah juga ada. Sejak tadi sore lampu mati. Semua ruangan gelap, serasa di rumah hantu. Rumah-rumah gelap bagai di kota mati. Hanya ada bulan bulat yang bersinar putih di langit hitam.
Aku berjongkok sambil menyalakan lilin di kamar tidur. Api kecil membakar separuh batang korek api di tanganku. Ujung korek malang itu hangus dan bengkok ke bawah. Kutiup-tiup dan kupegang ujung yang hangat itu, agar api berjalan dan menghitamkan ujung satunya. Ibu sudah membeli sebungkus lilin tadi sore, jadi aku tinggal memasang satu di tiap ruangan.
Aku punya dua ritual saat menyalakan lilin. Yang pertama adalah memasang lilin di pojok kiri ruangan, di dekat pintu. Ada lima pintu di rumahku yang berderet dan segaris, dan jika aku berdiri di pintu paling ujung, semua lilin-lilin itu membentuk barisan cahaya yang indah.
Ritual kedua adalah yang kulakukan tadi. Menghanguskan batang-batang korek api. Sayang kalau mereka langsung ditiup setelah baru dinyalakan. Rasanya seperti memotong hidup seseorang yang baru dimulai. Memang batang korek bukan orang. Dia hanya benda mati. Tetapi, biarpun ia hanya sebatang korek, aku tak mau menyia-nyiakan hidupnya. Aku pasti berusaha keras menjaga api agar tak padam, hingga seluruh batang korek itu hangus dan bengkok.
Kupikir, korek tak seharusnya dibedakan dengan lilin, yang baru boleh mati setelah seluruh batangnya habis dimakan api. Banyak orang memiliki cita-cita hidup seperti sebuah lilin. Mereka ingin memberi cahaya bagi orang lain hingga sumbunya habis. Kudengar bahkan Ibu Teresa menganut motto mulia itu. Tetapi mengapa tak pernah ada seorang pun yang bercita-cita hidup seperti sebuah korek api? Apakah derajat korek kalah mulia dari lilin? Sepertinya tidak juga. Malah menurutku, koreklah yang lebih mulia. Ia memberi api kehidupan kepada lilin, padahal ia harus menanggung derita. Ia rela tubuhnya dihantam dan diseret berkali-kali sepanjang pinggiran kotak. Setelah itu kepalanya terbakar. Saat api menyala, ia memberikan kehidupan itu kepada lilin. Kehidupan yang susah payah ia dapatkan. Sudah itu ia ditiup, dan dibuang begitu saja. Sungguh malang nasibnya. Mirip seperti orang yang dimanfaatkan orang lain.
Menurutku, korek mirip figur ibu bagi sebuah lilin. Ia akan selalu melupakan hidupnya sendiri demi nyawa anaknya. Tak peduli dihantam berkali-kali, diseret sampai putus, atau mati di tengah jalan, ia akan selalu mencurahkan hidupnya kepada sang anak. Bagaimanapun caranya, anak itu harus tetap hidup. Jika korek bisa bicara, pasti ia berkata ‘Biarlah aku yang mati, asal anak kesayanganku selamat sentosa. Aku tak minta imbalan. Apalagi ketenaran.’
Orang-orang bisa saja menganggap jasa si korek tak setara dengan jasa si lilin. Namun, perjuangannya terbukti tak sia-sia. Ia berhasil membuat ‘anak’-nya menjadi sosok besar yang dikagumi semua orang. Bukankah amat mirip dengan cita-cita setiap ibu di muka bumi?
Maka dari itu, aku tak suka meniup sebatang korek api.
- -
06 Desember 2007, 16:33:05
photo by Peter Dazeley, from gettyimages.com
1 comment:
dat's deep...
Post a Comment