Siapa idola kamu?
Di Sabtu siang yang membosankan, dosen tau2 nanyain pertanyaan itu. Mati gue. Mana pernah gue mikirin idola!
Punya idola itu ada baiknya. Akan ada inspirasi yang bisa dibangkitkan dari orang itu, lanjut si dosen.
Katanya, dulu orang2 seangkatannya pasti ngidolain Gandhi. Wuih… klasik bener. Gandhi yang kepalanya botak, berkacamata, dan sedang tersenyum. Tangannya tertangkup di depan dadanya yang terbalut pakaian (mirip) ihram. Ahimsa, swadesi, dan (satu lagi apa gue lupa.)
Ngomong-ngomong Gandhi, gue jadi kepikiran Bunda Teresa. Entah kenapa dua orang itu selalu gandengan aja gitu dalem otak gue.
Mungkin seharusnya mereka kawin aja.
Terus mereka punya anak buanyak, dan semuanya punya LSM masing-masing. Ada yang khusus buat orang miskin, ada yang buat yatim piatu, orang cacat… Ada yang buat membiayai kredit untuk negara2 miskin yang kelaparan, atau kredit rumah buat yang ngga punya rumah kayak model2nya si Yusuf-Yusuf yang menang Nobel Prize itu. (Yusuf-Yusuf aja, emang lo pikir tetangga lo…)
Berikut percakapan khayalan gue antara Mother Teresa (MT) dengan Gandhi (G) :
Mother Teresa : Ndhi, abis bantu2in orang, kita ngapain lagi?
Gandhi : Mmm…belum ada rencana sih.
Mother Teresa : Oh gitu... Mmmm… Oh ya, by the way, menurut kamu, kita bisa tukeran baju ngga?
Gandhi : Emang kenapa?
Mother Teresa : Mmm…abis lama2 aku bosen juga, stok bajuku cuman ini-ini aja. Putih garis pinggir biru. Kamu juga sekali2 perlu ganti gaya lho!
Gandhi : (memandangi bajunya sambil tersenyum) Ah, tapi ini seksi, lagi. Lebih user friendly! Akses mudah, sekali buka langsung jadi. (Kedip)
Mother Teresa : [sempet mikir sekilas: Dasar pervert! Is he flirting on me?!! Tapi ia segera mengalihkan pembicaraan.] Mending kita jalan-jalan sambil lihat-lihat baju, yuk! Kali2 aja ada yang cocok.
Dan pergilah mereka bersama ke Tanah Abang, dengan saling bergandeng tangan. Sesampainya di sana, mereka memasuki tiap kios dan mencoba-cobakan bahan pakaian ke tubuh mereka. Mereka nampak sangat bahagia.
MT : Aku suka yang bunga-bunga merah muda ini, Ndhi! (memeluk bahan itu ke pipi sambil tersenyum)
G : Kamu cantik pakai itu (tersenyum tulus)
MT : Kalo yang oranye ini?
G : Itu juga bagus (tersenyum)
MT : Aku beli dua, Mbak. (katanya kepada si penjual)
G : Eh, eh, nggak, nggak! Udah, biar aku yang bayar.
MT : Eeehh..ngga usah Ndhi, aku bisa bayar sendiriii..
G : Udah, udah, anggep aja ini hadiah dari aku.
MT : Bener, nih?
G : Iya aku serius.
MT : Makasih lho. [menerima baju dari kasir dengan tersipu-sipu]
G : Nanti malam kamu ke mana?
MT : Mmm… yah seperti biasa, aku di rumahku ngurus anak-anak.
G : [membawakan belanjaan] Kamu selalu punya waktu untuk orang lain. Terkadang kamu juga perlu waktu untuk diri kamu sendiri, lho.
MT : [tersenyum] Nggak papa. Aku senang kalo bisa bikin orang lain senang. [pause] Kamu tahu lilin?
G : Iya, tahu.
MT : Lilin itu menerangi sekelilingnya, meskipun ia tahu: saat waktunya tiba nanti, sumbunya akan habis, dan ia akan mati.
G : [mikir dalem hati] Wow! This girl is deep!
MT : Aku ingin jadi seperti lilin itu. Aku ingin menerangi sekelilingku sebelum sumbuku habis, Ndhi.
G : Kamu sudah melakukannya, sayang. [tersenyum]
MT : [balas tersenyum] Makasih, Ndhi.
Saat itu menjadi momen yang paling indah bagi Gandhi & Teresa. Untuk pertama kalinya, mereka membeli bahan baju beraneka warna. Ini pengalaman yang baru bagi keduanya. Mereka sangaaaaat bahagia.
Malamnya, Gandhi mengajak Teresa makan malam. Berdua, mereka duduk di tepi pantai, di meja yang diterangi dua buah lilin. Gandhi mengatakan, lilin-lilin itu menyimbolkan kebaikan hati Teresa. Walau hanya ada satu Teresa, tapi cahaya yang dipancarkannya ada dua kali lipat. Teresa amat bahagia.
Dua minggu kemudian, Gandhi & Teresa menikah. Mereka mempunyai puluhan anak-anak kembar, yang ketika dewasa, semuanya menyayangi orang tak mampu dan orang cacat. Gabungan prinsip kasih sayang Teresa dan prinsip kemandirian Gandhi telah menjadikan anak-anak itu tumbuh menjadi anak yang berkepedulian sosial sempurna.
Sepuluh anak kembar pertama memiliki rumah yang besar, yang akhirnya menjadi rumah kasih sayang dan pembangunan keterampilan untuk orang-orang berkebutuhan khusus.
Dua belas anak kembar kedua mengabdikan diri dan rumah mereka untuk membesarkan anak-anak tak berorangtua.
Sedang delapan anak kembar yang terakhir memberikan kredit rumah mungil, khusus untuk para pengemis yang tak punya rumah.
Gandhi, Teresa dan dua puluh anak kembarnya pun hidup bahagia selama-lamanya.
Tamat.
- -
02 Mei 2007, 13:10:01
Di Sabtu siang yang membosankan, dosen tau2 nanyain pertanyaan itu. Mati gue. Mana pernah gue mikirin idola!
Punya idola itu ada baiknya. Akan ada inspirasi yang bisa dibangkitkan dari orang itu, lanjut si dosen.
Katanya, dulu orang2 seangkatannya pasti ngidolain Gandhi. Wuih… klasik bener. Gandhi yang kepalanya botak, berkacamata, dan sedang tersenyum. Tangannya tertangkup di depan dadanya yang terbalut pakaian (mirip) ihram. Ahimsa, swadesi, dan (satu lagi apa gue lupa.)
Ngomong-ngomong Gandhi, gue jadi kepikiran Bunda Teresa. Entah kenapa dua orang itu selalu gandengan aja gitu dalem otak gue.
Mungkin seharusnya mereka kawin aja.
Terus mereka punya anak buanyak, dan semuanya punya LSM masing-masing. Ada yang khusus buat orang miskin, ada yang buat yatim piatu, orang cacat… Ada yang buat membiayai kredit untuk negara2 miskin yang kelaparan, atau kredit rumah buat yang ngga punya rumah kayak model2nya si Yusuf-Yusuf yang menang Nobel Prize itu. (Yusuf-Yusuf aja, emang lo pikir tetangga lo…)
Berikut percakapan khayalan gue antara Mother Teresa (MT) dengan Gandhi (G) :
Mother Teresa : Ndhi, abis bantu2in orang, kita ngapain lagi?
Gandhi : Mmm…belum ada rencana sih.
Mother Teresa : Oh gitu... Mmmm… Oh ya, by the way, menurut kamu, kita bisa tukeran baju ngga?
Gandhi : Emang kenapa?
Mother Teresa : Mmm…abis lama2 aku bosen juga, stok bajuku cuman ini-ini aja. Putih garis pinggir biru. Kamu juga sekali2 perlu ganti gaya lho!
Gandhi : (memandangi bajunya sambil tersenyum) Ah, tapi ini seksi, lagi. Lebih user friendly! Akses mudah, sekali buka langsung jadi. (Kedip)
Mother Teresa : [sempet mikir sekilas: Dasar pervert! Is he flirting on me?!! Tapi ia segera mengalihkan pembicaraan.] Mending kita jalan-jalan sambil lihat-lihat baju, yuk! Kali2 aja ada yang cocok.
Dan pergilah mereka bersama ke Tanah Abang, dengan saling bergandeng tangan. Sesampainya di sana, mereka memasuki tiap kios dan mencoba-cobakan bahan pakaian ke tubuh mereka. Mereka nampak sangat bahagia.
MT : Aku suka yang bunga-bunga merah muda ini, Ndhi! (memeluk bahan itu ke pipi sambil tersenyum)
G : Kamu cantik pakai itu (tersenyum tulus)
MT : Kalo yang oranye ini?
G : Itu juga bagus (tersenyum)
MT : Aku beli dua, Mbak. (katanya kepada si penjual)
G : Eh, eh, nggak, nggak! Udah, biar aku yang bayar.
MT : Eeehh..ngga usah Ndhi, aku bisa bayar sendiriii..
G : Udah, udah, anggep aja ini hadiah dari aku.
MT : Bener, nih?
G : Iya aku serius.
MT : Makasih lho. [menerima baju dari kasir dengan tersipu-sipu]
G : Nanti malam kamu ke mana?
MT : Mmm… yah seperti biasa, aku di rumahku ngurus anak-anak.
G : [membawakan belanjaan] Kamu selalu punya waktu untuk orang lain. Terkadang kamu juga perlu waktu untuk diri kamu sendiri, lho.
MT : [tersenyum] Nggak papa. Aku senang kalo bisa bikin orang lain senang. [pause] Kamu tahu lilin?
G : Iya, tahu.
MT : Lilin itu menerangi sekelilingnya, meskipun ia tahu: saat waktunya tiba nanti, sumbunya akan habis, dan ia akan mati.
G : [mikir dalem hati] Wow! This girl is deep!
MT : Aku ingin jadi seperti lilin itu. Aku ingin menerangi sekelilingku sebelum sumbuku habis, Ndhi.
G : Kamu sudah melakukannya, sayang. [tersenyum]
MT : [balas tersenyum] Makasih, Ndhi.
Saat itu menjadi momen yang paling indah bagi Gandhi & Teresa. Untuk pertama kalinya, mereka membeli bahan baju beraneka warna. Ini pengalaman yang baru bagi keduanya. Mereka sangaaaaat bahagia.
Malamnya, Gandhi mengajak Teresa makan malam. Berdua, mereka duduk di tepi pantai, di meja yang diterangi dua buah lilin. Gandhi mengatakan, lilin-lilin itu menyimbolkan kebaikan hati Teresa. Walau hanya ada satu Teresa, tapi cahaya yang dipancarkannya ada dua kali lipat. Teresa amat bahagia.
Dua minggu kemudian, Gandhi & Teresa menikah. Mereka mempunyai puluhan anak-anak kembar, yang ketika dewasa, semuanya menyayangi orang tak mampu dan orang cacat. Gabungan prinsip kasih sayang Teresa dan prinsip kemandirian Gandhi telah menjadikan anak-anak itu tumbuh menjadi anak yang berkepedulian sosial sempurna.
Sepuluh anak kembar pertama memiliki rumah yang besar, yang akhirnya menjadi rumah kasih sayang dan pembangunan keterampilan untuk orang-orang berkebutuhan khusus.
Dua belas anak kembar kedua mengabdikan diri dan rumah mereka untuk membesarkan anak-anak tak berorangtua.
Sedang delapan anak kembar yang terakhir memberikan kredit rumah mungil, khusus untuk para pengemis yang tak punya rumah.
Gandhi, Teresa dan dua puluh anak kembarnya pun hidup bahagia selama-lamanya.
Tamat.
- -
02 Mei 2007, 13:10:01
2 comments:
Ini ngehe tapi bikin terharu deh. :')
i'll proudly take the "ngehe" part as a compliment xD :*
Post a Comment